Sejak kecil Dr Jeffrey Lang mempunyai sifat
ingin tahu. Ia kerap bertanya logik sesuatu dan mengkaji apa pun
berdasarkan perspektif rasional.
“Ayah, syurga itu ada?” tanya Jeffrey
kecil pertama kali kepada ayahnya tentang wujudnya syurga, keduanya
berjalan bersama anjing peliharaan mereka di pantai. Bukan suatu kejutan
jika suatu masa Jeffrey Lang menjadi profesor matematik, sebuah wilayah dimana tidak ada tempat selain logik.
Semasa
menjadi siswa tahun terakhir di Notre Dam Boys High, sebuah Sekolah
Katholik, Jeffrey Lang mempunyai kemusykilan rasional terhadap keyakinan
akan wujudnya Tuhan.
Diskusi dengan pendeta sekolah, orang tuanya, dan
rakan sekelasnya tak juga boleh memuaskannya tentang wujudnya Tuhan.
“Tuhan akan membuatmu tertunduk, Jeffrey!” kata ayahnya ketika ia
membantah wujudnya Tuhan di usia 18 tahun.
Ia
akhirnya memutuskan menjadi atheis pada usia 18 tahun, yang berlaku
selama 10 tahun ke depan sepanjang menjalani kuliah S1, S2, dan S3, hingga
akhirnya memeluk Islam.
Adalah
beberapa masa sebelum atau sesudah memutuskan menjadi atheis, Jeffrey
Lang mengalami sebuah mimpi. Berikut penuturan Jeffrey Lang tentang
mimpinya itu:
Kami berada dalam sebuah ruangan tanpa perabot. Tidak ada apa pun di tembok ruangan itu yang berwarna putih agak kelabu.
Satu-satunya
‘hiasan’ adalah karpet bertompok merah-putih yang menutupi
lantai. Ada sebuah jendela kecil, seperti jendela ruang bawah tanah,
yang terletak di atas dan menghadap ke kami. Cahaya terang mengisi
ruangan melalui jendela itu.
Kami membentuk deretan. Saya berada di deretan ketiga. Semuanya lelaki, tidak ada wanita, dan kami semua duduk di lantai di atas tumit kami, menghadap arah jendela.
Terasa
asing. Saya tidak mengenal seorang pun. Mungkin, saya berada di negara
lain. Kami menunduk serentak, muka kami menghadap lantai.
Semuanya
tenang dan hening, bagaikan semua suara dimatikan. Kami serentak kembali
duduk di atas tumit kami. Semasa saya melihat ke depan, saya sedar kami
dipimpin oleh seseorang di depan yang berada di sisi kiri saya, di
tengah kami, di bawah jendela.
Ia berdiri sendiri. Saya hanya boleh
melihat sedikit punggungnya. Ia memakai jubah putih panjang. Ia
mengenakan selendang putih di kepalanya, dengan bentuk merah. Semasa
itulah saya terbangun.
Sepanjang
sepuluh tahun menjadi atheis, Jeffrey Lang beberapa kali mengalami
mimpi yang sama. Bagaimanapun, ia tidak terganggu dengan mimpi itu.
Ia
hanya merasa nyaman semasa terbangun. Sebuah perasaan nyaman yang aneh. Ia
tidak tahu apa itu. Tak ada logik di balik itu, dan kerananya ia tidak
peduli walaupun mimpi itu berulang.
Sepuluh tahun kemudian, semasa pertama kali memberi kuliah di University of San Fransisco, dia bertemu murid Muslim yang mengikuti kelasnya. Tidak hanya dengan seorang murid, Jeffrey pun tidak lama kemudian menjalin persahabatan dengan keluarga sang murid.
Agama bukan menjadi topik bahasan semasa Jeffrey menghabiskan waktu dengan keluarga murid itu. Hingga setelah beberapa waktu salah seorang anggota keluarga muridnya memberikan Al-quran kepada Jeffrey.
Walaupun tidak sedang berniat mengetahui Islam, Jeffrey mulai membuka-buka Alquran
dan membacanya. Semasa itu kepalanya dipenuhi berbagai prasangka.
“Anda
tak boleh hanya membaca Alquran, tidak boleh jika anda tidak
menganggapnya serius. Anda harus, pertama, memang benar-benar telah
menyerah kepada Al-quran, atau kedua, ‘menentangnya’,” ungkap Jeffrey.
Ia
kemudian mendapati dirinya berada di tengah-tengah pergelutan yang
sangat menarik. “Ia (Alquran) ‘menyerang’ anda, secara langsung, personal.
Ia (Alquran) mendebat, mengkritik, membuat (anda) malu, dan menentang.
Sejak awal ia (Alquran) menorehkan garis perang, dan saya berada di
wilayah yang berseberangan.”
“Saya menderita kekalahan parah (dalam pergelutan). Dari situ menjadi jelas bahawa Sang Penulis (Al-quran) mengetahui saya lebih baik ketimbang diri saya sendiri,” kata Jeffrey.
Ia mengatakan seakan Sang
Penulis membaca fikirannya. Setiap malam ia menyiapkan sejumlah
pertanyaan dan kemusykilan, namun selalu mendapati jawapannya pada bacaan
berikutnya, seiring ia membaca halaman demi halaman Al-quran secara
berurutan.
“Al-quran
selalu jauh di depan pemikiran saya. Ia menghilangkan halangan yang telah saya bina bertahun-tahun lalu dan menjawab pertanyaan saya.” Jeffrey cuba melawan dengan keras dengan kemusykilan dan pertanyaan, namun
semakin jelas ia kalah dalam pergelutan. “Saya dituntun ke sudut di mana
tidak ada lain selain satu pilihan.”
Semasa itu awal 1980-an dan tidak banyak Muslim di kampusnya, University
of San Fransisco. Jeffrey mendapati sebuah ruangan kecil di basement
sebuah gereja di mana sejumlah mahasiswa Muslim melakukan solat. Selepas
pergelutan panjang di benaknya, ia memberanikan diri untuk mengunjungi
tempat itu.
Beberapa
jam mengunjungi di tempat itu, ia mendapati dirinya mengucap syahadat. Selepas syahadat, waktu s0lat Zuhur tiba dan ia pun diundang untuk
beribadah. Ia berdiri dalam deretan dengan para mahasiswa lainnya,
dipimpin imam yang bernama Ghassan. Jeffrey mulai mengikuti mereka
solat berjamaah.
Jeffrey
ikut bersujud. Kepalanya menempel di karpet merah-putih. Suasananya
tenang dan hening, bagaikan semua suara dimatikan. Ia lalu kembali duduk
di antara dua sujud.
“Semasa
saya melihat ke depan, saya boleh melihat Ghassan, di sisi kiri saya, di
tengah-tengah, di bawah jendela yang menerangi ruangan dengan cahaya.
Dia sendirian, tanpa barisan. Dia mengenakan jubah putih panjang.
Selendang (scarf) putih menutupi kepalanya, dengan bentuk merah.”
“Mimpi
itu! Saya berteriak dalam hati. Mimpi itu, persis! Saya telah
benar-benar melupakannya, dan sekarang saya terpegun dan takut. Apakah
ini mimpi? Apakah saya akan terbangun? Saya cuba fokus apa yang
terjadi untuk memastikan apakah saya tidur. Rasa sejuk mengalir cepat
ke seluruh tubuh saya. Ya Tuhan, ini benar! Lalu rasa sejuk itu hilang,
berganti rasa hangat yang berasal dari dalam. Air mata saya
bercucuran.”
Ucapan
ayahnya sepuluh tahun silam terbukti. Ia kini berlutut, dan wajahnya
menempel di lantai. Bahagian tertinggi otaknya yang selama ini berisi
seluruh pengetahuan dan intelektualnya kini berada di titik
terendah, dalam sebuah penyerahan sepenuhnya kepada Allah SWT.
Jeffrey
Lang merasa Tuhan sendiri yang membawanya kepada Islam. “Saya tahu
Tuhan itu selalu dekat, mengarahkan hidup saya, menciptakan lingkungan
dan kesempatan untuk memilih, namun tetap meninggalkan pilihan
kepada saya,” ujar Jeffrey kini.
Jeffrey kini professor jurusan matematik University
of Kansas dan mempunya tiga anak. Ia menulis tiga buku yang banyak
dibaca oleh Muslim AS: Struggling to Surrender (Beltsville, 1994); Even
Angels Ask (Beltsville, 1997); dan Losing My Religion: A Call for Help (Beltsville, 2004). Ia memberi kuliah di banyak kampus dan menjadi jurucakap di banyak persidangan Islam.
Ia
mempunyai tiga anak, dan bukan sebuah kejutan anaknya memiliki rasa ingin tahu yang sama. Jeffrey kini harus menghadapi
pertanyaan-pertanyaan yang sama yang dulu ia lontarkan kepada ayahnya.
Suatu hari ia ditanya oleh anak perempuannya yang berusia delapan tahun,
Jameelah, selepas mereka solat Ashar berjamaah. “Ayah, mengapa kita
solat?”
“Pertanyaannya
mengejutkan saya. Tidak sangka berasal dari anak di usia lapan tahun. Saya
tahu memang jawaban yang paling jelas, bahawa Muslim diwajibkan solat.
Tapi, saya tidak ingin membuang kesempatan untuk berkongsi pengalaman dan
keuntungan dari solat. Bagaimana pun, selepas menyusun jawapan di kepala,
saya memulai dengan, ‘Kita solat kerana Tuhan ingin kita
melakukannya’,”
“Tapi
kenapa, ayah, apa akibat dari solat?” Jameela kembali bertanya. “Sukar
menjelaskan kepada anak kecil, sayang. Suatu hari, jika kamu melakukan
solat lima waktu tiap hari, saya yakin kamu akan mengerti, namun ayah
akan cuba yang terbaik untuk menjawab pertanyaan kamu.”
1 comment:
Agama Islam adalah untuk semua kaum. Ini adalah pembuktian kepada semua manusia bahawa jika seseorang itu mencari dan terus mencari siapa diri mereka disisi Allah nescaya ia akan mendapat petunjuk kejalan yang lurus
Post a Comment